Dilema Psikolog Muslim: Hati-hati Masuk ke Liang Biawak

Mufti Perdana Avicena
2 min readDec 8, 2023

Sebuah resensi buku Dilema Psikolog Muslim karya Dr. Malik B. Badri (1986) terbitan Pustaka Firdaus.

Halaman depan Dilema Psikolog Muslim (1986) terjemahan karya Dr. Malik M. Badri

Dr. Badri menyampaikan dengan lantang opininya dalam sebuah karya singkat yang berjudul Dilema Psikolog Muslim. Dalam “manifesto”-nya, ia menawarkan aliran psikologi yang berasas prinsip-prinsip Islami — bukan sebagai alternatif — sebagai sebuah gerakan psikologi arus utama. Ia menyeru pada psikolog-psikolog muslim untuk tidak ikut-ikutan masuk ke “liang biawak” — baca: tidak ikut-ikutan masuk jurang” — bersama psikolog-psikolog Barat.

Dr. Badri dalam tulisannya, menentang habis teori psikoanalisa Freud — di buku ini Dr. Badri sampai membahasnya dalam dua bab — Selain pandangan Freud yang ateis, — baginya agama adalah neurosis obsesional universal umat manusia — ia berpendapat bahwa teori psikoanalisa Freud berasal dari asumsi-asumsi yang tidak selalunya saintifik.

Lebih lanjut, Dr. Badri mengritik para psikiater dan psikolog Muslim yang memuja-muja teori psikoanalisa Freud dan menggunakannya secara serampangan untuk menjelaskan segala jenis tingkah laku manusia. Seringkali mengambil kesimpulan dengan terburu-buru dan cenderung “cocoklogi”. Seharusnya, para psikolog Muslim lebih kritis terhadap pemahaman yang ia ambil dari teori psikologi modern Barat. Apalagi, terdapat perbedaan konteks budaya di mana terapi/penelitian/tes itu dilakukan. Seperti yang dikeluhkan oleh S seorang psikolog in-training di Indonesia, yang mau-nggak-mau perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang kurang relevan dengan latar belakang peserta eksperimennya di mana ia perlu menanyakan pertanyaan-pertanyaan soal bir dan alkohol kepada anak-anak (peserta eksperimennya) yang tidak pernah bersentuhan apalagi mengonsumsinya.

“…bagaimana mungkin seseorang dapat dengan penuh semangat menerangkan pada orang lain tentang sebuah teori yang jelas-jelas menertawakan agama dan menempatkan seks sebagai motivator utama segala tingkah laku manusia?”

Namun, Dr. Badri tidak sepenuhnya menolak teori-teori psikologi barat modern. Baginya, masih banyak hal-hal yang berharga yang bisa diambil. Terutama — kalau saya tidak salah paham — , dari cabang-cabang psikologi yang tidak anti-agama seperti aliran psikologi tingkah laku, humanistik, dan logoterapi.

“…Jika itu dilakukan (menolak penuh psikologi modern Barat), saya yakin kita telah membuang bak mandi dengan sejumlah bayi yang sehat di dalamnya; permata berharga yang memang masih mengandung banyak kotoran.”

Perspektif Dr. Badri merupakan sesuatu yang berharga. Di tengah peningkatan kesadaran muslim Indonesia soal pentingnya kesehatan mental, saya akan senang jika terdapat banyak psikolog-psikolog yang memberikan solusi yang lebih nyaman bagi para muslim. Bagi Abdallah Rothman (Direktur Eksekutif International Association of Islamic Psychology) dalam bukunya, diperlukan sebuah penelaahan kembali, bukan hanya mencocokkan teori psikologi Barat dengan nilai-nilai Islam, namun membangun ulang model psikologi yang berakar dari prinsip-prinsip dan konsep kejiwaan Islam. Termasuk dari karya-karya al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan Abu Zayd al-Balkhi — dan tentu ulama/ilmuwan/cendekiawan muslim yang sangat banyak jumlahnya.

3.5 out of 5

Resensi singkat ini saya dedikasikan buat S yang bikin saya tiba-tiba psikologi, makasih banyak diskusi-diskusinya.

--

--