Man’s Search for Meaning: Cara Menciptakan Makna Hidup

Mufti Perdana Avicena
5 min readJul 21, 2024

--

Sebuah resensi buku Man’s Search for Meaning karya Viktor E. Frankl (2004) terbitan Rider.

Halaman depan buku Man’s Search for Meaning karya Viktor E. Frankl. Dikutip dari https://cdn.kobo.com/book-images/d132c488-85f8-4796-a864-d338a45e2283/1200/1200/False/man-s-search-for-meaning-1.jpg

Sudah cukup lama semenjak saya menemukan sebuah buku yang menggugah jiwa dan membuat saya terus mengangguk-angguk. Buku tersebut berjudul Man’s Search for Meaning karya seorang psikolog Austria bernama Viktor E. Frankl.

Viktor masyhur sebagai pencetus mazhab logoterapi. Salah satu dari 3 mazhab psikoterapi Vienna (The Viennese School of Psychotherapy). 3 mazhab tersebut terdiri dari mazhab psikoanalisa milik Sigmund Freud, mazhab psikologi individual milik Alfred Adler dan mazhab logoterapi miliknya sendiri. Lain halnya dengan pendekatan psikoanalisa yang berasumsi bahwa dorongan dasar manusia adalah pencarian kenikmatan (pursuit of pleasure) dan penghindaran dari rasa sakit (avoidance of pain), juga psikologi individual yang berasumsi bahwa motivasi dasar manusia adalah kekuasaan (power) dan pengakuan (significance), logoterapi cetusan Viktor Frankl mendasarkan teknik psikoterapinya pada pencarian makna sebagai dorongan dasar dari manusia.

Viktor merupakan seorang Yahudi yang merupakan korban salah satu kamp konsentrasi Nazi. Di bagian pertama bukunya, ia menceritakan pengalamannya di dalam kamp tersebut. Ada hal yang menarik ketika ia memerhatikan tahanan-tahanan di dalam kamp tersebut. Mengapa tahanan-tahanan yang berada dalam keadaan tekanan yang sama dapat memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap hidup? Mengapa ada segelintir tahanan, yang walaupun dihadapkan pada penderitaan yang begitu hebat, masih memiliki semangat untuk hidup, sedangkan sebagian lainnya tidak? Dari observasinya dan pengalaman-pengalaman yang ia alami sendiri, Viktor menyimpulkan bahwa perbedaan tersebut bermuara pada upaya mereka dalam mencari makna dari penderitaan yang mereka alami.

Tentang Cara Menemukan Makna

Berbicara soal makna, dalam bukunya, Viktor memberikan 3 cara menemukan makna dari kehidupan:

  1. Melalui pekerjaan dan amal-amal yang kita lakukan
  2. Melalui pengalaman kita terhadap sesuatu atau melalui seseorang
  3. Melalui sikap kita terhadap penderitaan yang tak terhindarkan

Menerjemah bebas penjelasan Viktor terhadap 2 cara pertama,

Yang pertama, sudah cukup jelas. Yang kedua, menemukan makna dapat kita dapatkan dari pengalaman kita terhadap kebaikan, keindahan, dan kebenaran, penghayatan kita terhadap alam dan budaya tertentu atau dalam penghayatan kita akan manusia lain dalam segala keunikannya — yaitu dengan mencintainya. (hal. 117)

Mencintai manusia lain bagi Viktor adalah sebuah cara untuk menemukan makna dalam hidup. Mencintai, adalah satu-satunya cara untuk mengenal seseorang dengan sebenar-benarnya. Dan dengan kita mengenal orang tersebut dengan sebenar-benarnya, kita akan dapat membantu mereka dalam mengaktualisasi potensi-potensinya. Menjadikan mereka sadar akan apa yang mereka dapat lakukan dan siapa mereka akan menjadi.

Yang ketiga, sikap kita dalam menghadapi penderitaan yang tak dapat dihindari menjadi penentu dalam penciptaan makna hidup. Apakah penderitaan tersebut bermakna? Untuk apa saya mengalami derita itu? Sebuah contoh yang diberikan oleh Viktor dalam bukunya:

Suatu saat seorang dokter umum berkonsultasi padaku soal depresinya yang sudah parah. Dia tidak dapat mengatasi rasa sedihnya atas kehilangan istrinya yang meninggal dua tahun lalu. Istrinya yang ia sangat cintai lebih dari apapun. Sekarang bagaimana aku dapat menolongnya? Aku harus berkata seperti apa? Aku menahan diri dari menasihatinya, justru aku memberikan sebuah pertanyaan padanya,

“Apa yang akan terjadi jika kamu meninggal lebih dulu dan istrimu tetap hidup?”

“Oh,” katanya , “itu jelas sebuah hal yang menyedihkan baginya; pasti dia akan tersiksa!”

Setelah itu aku membalas, “Dok, coba kamu lihat, dengan kematiannya, ia tak lagi perlu merasakan derita yang berat ini, dan semua ini sebab dirimu. Kamu telah menyelamatkan istrimu dari derita itu — dan semua itu, kamu perlu bayar dengan terus hidup dan mengingatnya.”

Lalu ia hanya menyalami tanganku lalu pergi dengan terlihat tenang. (hal. 119)

Sikap kita terhadap sebuah penderitaan dapat menghilangkan rasa derita itu sendiri, selama kita dapat memaknai penderitaan tersebut. Dari situ Viktor menjelaskan bahwa salah satu asumsi dasar dari logoterapi bukanlah keinginan manusia mencari kenikmatan maupun penghindaran terhadap rasa sakit, tetapi keinginan manusia untuk melihat makna dalam hidupnya.

Anticipatory Anxiety, Hyper-intention dan Paradoxical Intention

Terdapat beberapa hal menarik lain yang saya pelajari dari buku tersebut, yakni konsep kecemasan antisipatif (anticipatory anxiety), niat hiper (hyper-intention), dan teknik terapi untuk mengatasi keduanya, yaitu niat berkebalikan (paradoxical intention).

Kecemasan antisipatif adalah keadaan di mana seseorang merasakan kekhawatiran akan melakukan/mengalami sesuatu yang ia takutkan sebelumnya. Hal yang menarik dari keadaan ini adalah kecenderungan keadaan ini untuk menghasilkan hal yang kita takutkan tersebut. Misal, seseorang memiliki kekhawatiran akan berbicara dengan gagap saat menyampaikan sebuah pidato, hal yang biasanya akan terjadi adalah seseorang tersebut akan benar-benar gagap saat berpidato.

Sebaliknya, niat hiper atau niat yang dipaksakan, akan menghasilkan kegagalan untuk mewujudkan hal yang kita paksa-niatkan tersebut. Misal, seseorang memiliki masalah sulit tidur. Biasanya orang akan berniat sekuat tenaga untuk mewujudkan keadaan yang ia inginkan, yaitu untuk tidur. Namun, naas, semakin ia meniatkan keinginannya untuk tidur, semakin ia jauh dari rasa kantuk.

Kedua keadaan di atas ternyata dapat diatasi dengan melakukan teknik yang dipanggil Viktor sebagai niat berkebalikan. Yaitu, berniat untuk melakukan kebalikan dari apa yang kita inginkan. Teknik ini memutus lingkaran setan di mana seseorang yang, contohnya, memiliki masalah sulit tidur, di satu sisi akan berniat sekuat tenaga agar tidur sehingga membuatnya sulit tidur (niat hiper), dan di sisi lain ia takut kalau-kalau malam itu ia tak dapat tidur (kecemasan antisipatif). Agar rantai ini terputus, seseorang itu disarankan untuk berniat berkebalikan. Bagi orang yang sulit tidur, berniat untuk begadang dan untuk selama mungkin tidak tidur. Dengan cara ini, seseorang tersebut akan memutus lingkaran setan tersebut, dimulai dengan memutus niat hiper untuk tidur (yang membuatnya gagal tidur) dan melepas ketakutannya kalau-kalau ia gagal tidur. Ini hanya salah satu contoh dari studi kasus yang ia sebutkan dalam bukunya. Teknik ini dapat digunakan untuk memberikan terapi bagi mereka yang memiliki masalah psikologis lainnya.

Efek Samping Pencarian Makna

Di paragraf-paragraf sebelumnya, beberapa terdapat tema yang berulang kali saya tulis dan yang berulang kali muncul di dalam Man’s Search for Meaning. Yaitu, manusia adalah makhluk yang eksistensinya memerlukan makna. Kemampuannya untuk terus hidup tergantung pada seberapa jauh kita dapat menetapkan makna pada kehidupan kita.

“Don’t aim at success — the more you aim at it and make it a target, the more you are going to miss it.”

Jangan mengejar kesuksesan — semakin engkau mengejarnya dan menjadikannya targetmu, semakin ia akan lari darimu.

Bagi Viktor, kesuksesan dan kebahagiaan bukanlah hal yang perlu dikejar. Ia adalah efek samping dari kesungguhan kita dalam memenuhi makna yang disodorkan kehidupan pada kita. Kebahagiaan, adalah sebuah keniscayaan, begitupula kesuksesan. Sehingga, kita hanya perlu tekun dalam melakukan apa yang menjadi maksud hidup kita masing-masing. Apapun peran kita. Jika kita sungguh-sungguh mencari dan memenuhi panggilan makna tersebut, percayalah, kata Viktor, kesuksesan akan mengikutimu sebab kau telah lupa untuk memikirkannya.

Akhirulkalam, jika ingin meringkas falsafah psikoterapi Viktor di dalam satu kalimat, kutipan Nietzsche yang berulang kali ditulis dalam buku Man’s Search for Meaning ini, cukup layak mewakilinya,

“He who has a why to live can bear almost anyhow.”

Ia yang memiliki “mengapa” dalam hidup, akan dapat menanggung segala “bagaimana”.

NB: Masing-masing buku memiliki pembacanya. Saya takut, rating yang saya berikan akan menghalangi pembaca dari buku yang seharusnya ia baca. Jadi, saya akan menghilangkan rating saya terhadap buku-buku yang saya baca di resensi-resensi saya seterusnya.

Referensi:

  1. https://www.thecareerproject.org/blog/the-three-viennese-schools-of-psychotherapy/

--

--

No responses yet