Mengimajinasi Ulang Pembelajaran Virtual

Mufti Perdana Avicena
5 min readMar 20, 2023
Photo by Lucrezia Carnelos on Unsplash

Akibat pandemi, dunia mengalami sebuah pergeseran kebiasaan. Pergeseran ini terjadi di setiap lini kehidupan manusia. Segala aktivitas yang tadinya kerap dilakukan secara fisik, mau tidak mau harus beralih ke dunia maya. Platform teleconference seperti Microsoft Teams, Zoom, dan Google Meet tiba-tiba menjadi kesayangan orang banyak, menawarkan solusi dari masalah yang timbul karena penganjuran physical distancing. Tidak terkecuali, sektor pendidikan.

Sekolah dan perguruan tinggi sempat mandek beberapa bulan untuk menghambat laju penularan penyakit COVID-19. Situasi pandemi yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented), membuat semua pihak bingung sehingga terpaksa mengambil langkah-langkah preventif, seperti menutup gedung sekolah maupun kampus. Bagi murid-murid sekolah yang kebetulan berada di zona merah, oranye dan kuning, pembelajaran di tahun ajaran baru terpaksa dilaksanakan secara daring mengingat resiko penularan yang besar. Tak berbeda jauh, kampus mengambil kebijakan untuk menutup kelas dan mengalihkan segala kegiatan perkuliahan ke dunia maya. Tak hanya kuliah, Ospekpun terpaksa dilaksanakan menggunakan aplikasi teleconference di ponsel, laptop, atau komputer.

Pengaburan Batas Dua Dunia

Sebuah komunitas bernama Technology Pioneers yang dinaungi World Economy Forum, memprediksi bahwa di masa depan, batas antara dunia virtual dan dunia fisik akan mengabur. Orang-orang akan dapat membangun hubungan emosional tanpa perlu bertemu, sehingga jarak fisik tak ada lagi artinya. Melihat perkembangan teknologi immersive seperti Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan teknologi haptic serta perkembangan cloud computing, membuat dunia virtual dan dunia fisik menjadi kabur.

Pertama, Virtual Reality adalah teknologi yang memungkinkan kita untuk mengalami dunia buatan melalui simulasi komputer. Salah satu contohnya, kita dapat merasakan naik roller coaster di atas sofa ruang tamu tanpa harus pergi ke Dufan atau semacamnya. Oculus dan HTC sempat megguncang dunia per-game­-an dengan mengeluarkan alat VR komersil yaitu Rift dan Vive.

Kedua, Augmented Reality, mirip seperti VR namun alih-alih “menciptakan” dunia baru, teknologi ini mendasarkan menambahkan elemen digital ke dunia nyata. Contoh paling mudah adalah aplikasi game Pokemon GO yang bikin pemerintah Kanada kewalahan sebab tiba-tiba markas-markas tentara yang seharusnya terlarang untuk warga sipil, tiba-tiba kedatangan banyak “pengunjung” yang sedang mencari Pokemon.

Teknologi haptic atau yang sering juga disebut 3D touch adalah teknologi yang memungkinkan kita untuk mensimulasikan perasaan “menyentuh”. Peletakkan motor dan sensor yang kompleks memungkinkan pengguna untuk dapat merasakan sensasi menyentuh, menekan bahkan meraba sesuatu yang belum tentu ada secara fisik. Penerapan paling mudah dari teknologi ini adalah trackpad milik MacBook. Teknologi haptic ini bertanggung jawab menghasilkan sensasi “klik”, padahal tidak ada tombol pada trackpad.

Terakhir, Cloud Computing seperti namanya, mengalihkan segala kegiatan computing yang kita lakukan saat membuka perangkat lunak, berselancar di internet, dan sebagainya, ke dalam “awan”. “Awan” yang dimaksud adalah pusat-pusat data yang terdiri dari komputer-komptuer canggih yang tersebar di penjuru dunia. Melihat teknologi-teknologi yang sudah well established dan sedang berkembang pesat, saya tergoda untuk mengimajinasi ulang teknologi-teknologi ini, melihat potensinya sebagai pengganti pembelajaran “ruang kelas”.

Mengimajinasi Ulang Ruang Kelas

Bayangkan sebuah ruang kelas yang dapat dibawa ke setiap rumah. Melalui teknologi VR, murid dapat berkumpul bersama teman-teman dan gurunya tanpa perlu menempuh jarak untuk berangkat ke sekolah. Guru dapat hadir di kelas bersama murid-murid dalam ruang kelas virtual. Dalam kelas praktikum, teknologi haptic memungkinkan murid untuk “menyentuh” alat pembelajaran. Murid dapat belajar dalam laboratorium yang juga virtual, menuang bahan kimia beracun, atau alat berbahaya tanpa perlu khawatir akan risiko-risiko keselamatan yang mungkin terjadi. Segalanya terjadi secara bersamaan (real-time) seperti layaknya belajar di ruang kelas biasa.

Melalui teknologi kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan komputer untuk “belajar dan beradaptasi”, analisa dan pengumpulan data murid dapat dilakukan secara otomatis, menghilangkan sebagian besar beban administrasi yang seringkali menyita waktu guru. Guru-guru tinggal menyimpulkan data dan analisa yang ada, sehingga output-nya akan lebih konsisten dan efisien karena disimpulkan dari data yang lengkap. Melalui analisa dan data yang dikumpulkan, guru juga dapat menyesuaikan silabus sesuai konteks lingkungan dan kultural sekolah sehingga pembelajaran dapat menjadi lebih relevan bagi siswa karena dibuat berdasarkan lingkungan di mana mereka berinteraksi. Dalam kondisi yang memaksa seperti kekurangan tenaga pendidik, algoritma “guru AI” dapat didownload dan dijadikan pengganti untuk sementara, ketika peran “guru asli” tidak terlalu krusial.

Tentu, untuk memproses software yang begitu kompleks diperlukan computing power yang besar. Namun, masalah computing power dapat diatasi dengan teknologi cloud computing, hanya dengan modal internet jalur lebar berkecepatan tinggi (high-speed broadband) dan daya listrik yang cukup. Sekolah atau orang tua tidak perlu menyediakan komputer mahal berkapasitas tinggi asalkan pusat-pusat data dengan komputer berkapasitas tinggi sudah tersedia. Semua proses computing dilakukan melalui cloud server, mengurangi biaya penyediaan perangkat keras dan biaya gedung untuk penempatannya.

Peta Jalan untuk Masa Depan

Hal ini di masa depan, mungkin dapat menjadi solusi dalam memeratakan akses pendidikan di penjuru Indonesia. Setiap anak akan mendapatkan fasilitas yang sama karena fasilitas virtual dapat direproduksi. Tentu, teknologi-teknologi yang saya sebutkan di atas memerlukan prasyarat-prasyarat seperti perangkat keras, sumber daya manusia yang tech-savvy, infrastruktur keamanan dan privasi yang praktis dan ekonomis yang realisasinya mungkin masih puluhan tahun. Namun, tidak salah jika pemerintah dapat merumuskan sebuah peta jalan, membangun skenario jika ternyata pendidikan bergeser ke arah tersebut. Peta jalan tersebut dapat dibagi menjadi empat tahapan besar: 1. Penyiapan sumber daya manusia termasuk guru, murid, dan orang tua melalui penerangan dan pelatihan; 2. Pemerataan infrastruktur dasar, seperti internet dan listrik di seluruh Indonesia; 3. Perumusan sistem dan kurikulum baru; 4. Penyediaan teknologi.

Banyak hal yang dapat kita selesaikan dengan teknologi. Masalah akses dan kualitas fasilitas pendidikan, penekanan biaya operasional, dan peningkatan kualitas lulusan adalah beberapa masalah yang dapat kita selesaikan menggunakan teknologi. Dengan potensi yang begitu besar, sangat sayang bila pemerintah tidak memaksimalkan upaya pengembangan pendidikan yang visioner. Tidak lupa, tetap harus dibarengi dengan perencanaan yang matang dan akuntabel.

Esai ini ditulis tahun 2020 untuk lomba menulis esai yang diselenggarakan PPI Malaysia.

Sumber:

1. Apple’s Haptic Tech Is a Glimpse at the UI of the Future. (n.d.). Wired. Retrieved October 24, 2020, from https://www.wired.com/2015/03/apples-haptic-tech-makes-way-tomorrows-touchable-uis/

2. Future of cloud gaming | Deloitte Insights. (n.d.). Retrieved October 25, 2020, from https://www2.deloitte.com/us/en/insights/industry/telecommunications/future-of-cloud-gaming.html

3. McLymore, A. R., Arriana. (2020, March 13). Teleconference apps and new tech surge in demand amid coronavirus outbreak. Reuters. https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-teleconference-idUSKBN21033K

4. Ruskin, B. (2019, December 31). How Canada’s military reacted to seeing Pokemon Go players trespassing on its bases. CBC. https://www.cbc.ca/news/canada/nova-scotia/pokemon-canada-military-bases-1.5393774

5. Saemoon Yoon. (n.d.). Future shocks: 17 technology predictions for 2025. World Economic Forum. Retrieved October 24, 2020, from https://www.weforum.org/agenda/2020/06/17-predictions-for-our-world-in-2025/

6. Tahun Ajaran Baru Serentak Dimulai 13 Juli, Belajar di Sekolah atau Online? Ini Penjelasan Kemdikbud. (n.d.). Tribun Timur. Retrieved October 23, 2020, from https://makassar.tribunnews.com/2020/07/07/tahun-ajaran-baru-serentak-dimulai-13-juli-belajar-di-sekolah-atau-online-ini-penjelasan-kemdikbud

7. Technology Pioneers. (n.d.). World Economic Forum. Retrieved October 24, 2020, from https://www.weforum.org/communities/technology-pioneers/

--

--