Siap Bodrex Sebelum Merdeka

Mufti Perdana Avicena
2 min readAug 17, 2021

Ini ke tujuh puluh enam kalinya kita memperingati hari pembebasan/kebebasan bangsa ini dari dikte dan belenggu bangsa-bangsa arogan. Bangsa-bangsa yang memaksakan kehendak mereka atas ketidakberdayaan bangsa-bangsa sederhana yang kebetulan kalah licik. Sebuah atau dua buah syukur sangat patut kita panjatkan. Betapa sulit perjuangan yang kita alami dan mahal pengorbanan yang harus kita bayarkan untuk mencapai kemerdekaan. Namun bagi saya, lebih baik kita tak merayakannya. Memang apa yang ingin dirayakan? Perayaan hanya akan menutup kebobrokan dan keterpurukan yang masih nampak jelas dan nyata di balik euforia selebrasi dan hiburan. Ditambah, kita belum sampai pada tujuan yang kita cita-citakan. Alih-alih “merayakan”, saya lebih setuju jika kita dapat mengganti aktivitas tersebut dengan aktivitas “merenungkan”. Toh, peringatan memang harusnya direnungkan bukan dirayakan. Perenungan adalah undangan bagi inspirasi, sedang perayaan menyiratkan rasa puas, cukup, dan rasa pencapaian atas sesuatu. Inspirasi enggan bertamu jika semuanya telah berjalan dengan sebaik-baiknya.

Photo by Tusik Only on Unsplash

Slogan “Merdeka!” hanya ilusi dan lip service saja jika tidak dibarengi dengan esensi kemerdekaan di dalam jiwa individu yang mengucapkannya. Tidak semua memiliki kemewahan untuk betul-betul merdeka. Apa arti “Merdeka!”? Jika ternyata ia masih dibelenggu dan didikte oleh anasir-anasir kepenjajahan. Jika hidup yang mereka jalani, bukan hidup yang selaras dengan hati nurani mereka. Menjadi “betul-betul merdeka” kian sulit, sebab kemerdekaan sendiri kian samar. Siapa yang menjajah dan yang dijajah tidak mudah dirungkai seperti zaman-zaman nenek moyang kita. Terlalu banyak sempalan kepenjajahan dengan penjelmaannya yang unik-unik. Akhirnya, siapa yang benar-benar merdeka? Kalau sejak tataran individu saja sudah terjajah, apa lagi dalam tataran bangsa?

Merdeka itu mencuri. Merdeka itu membunuh. Kemerdekaan tidak mungkin tanpa tumbal. Tapi, apakah tumbal yang dikorbankan taat pada hukum “mata ganti mata”? Atau mungkin sebenarnya, kita dapat mengurangi tumbal yang kita korbankan, dan dalam saat yang bersamaan, meraup harta kemerdekaan sebanyak-banyaknya? Sayangnya, bangsa kita memilih taat pada hukum ketiga, korbankan tumbal sebanyak mungkin agar yang segelintir dapat menikmati kemerdekaan dalam keadaan aman dan nyaman. Lucu.

Kata para pembaca, “Haduh, ganggu pagi/siang/sore/malam saya saja Om ini. Sini udah puyeng, malah disuruh mikir. Ya makin puyeng!” Alhamdulillah jika ternyata sudah siap Bodrex. Asal tau saja, berkat pembaca seperti Anda dan orang seperti saya, industri obat pusing tetap langgeng.

Akhir kata, omongan tetap omongan, ocehan tetap ocehan, yang enak hanya bumbunya. Anggap tulisan ini cirik barandang.

Mengheningkan cipta, mulai.

--

--